Monday, December 19, 2011

Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Natal dan Tahun Baru Masehi?


Pertanyaan: Apa hukumnya mengucapkan selamat kepada orang kafir padaperayaan hari besar keagamaan mereka ? (Misal : Merry Christmas,Selamat hari Natal dan Tahun Baru dst, red) Dan bagaimana kitamenyikapi mereka jika mereka mengucapkan selamat Natal kepada kita. Danapakah dibolehkan pergi ke tempat-tempat dimana mereka merayakannya.Dan apakah seorang Muslim berdosa jika ia melakukan perbuatan tersebuttanpa maksud apapun? Akan tetapi ia melakukannya hanya karenamenampakkan sikap tenggang rasa, atau karena malu atau karena terjepitdalam situasi yang canggung, ataupun karena alasan lainnya. Dan apakahdibolehkan menyerupai mereka dalam hal ini? 

Jawaban: Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natalatau hari besar keagamaan lainnya dilarang menurut ijma’. Sebagaimanadisebutkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam bukunya ”AhkamuAhlidz-dzimmah”, beliau berkata: “Bahwa mengucapkan selamat terhadapsyi’ar-syi’ar kafir yang menjadi ciri khasnya adalah Haram, secarasepakat. Seperti memberi ucapan selamat kepada mereka pada hari-harirayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “Selamat Harirraya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakan hari rayanya atauhal lainnya. Maka dalam hal ini, jika orang yang mengatakannya terlepasdari jatuh ke dalam kekafiran, namun (sikap yang seperti itu) termasukke dalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atassujudnya mereka pada salib. Bahkan ucapan selamat terhadap hari rayamereka dosanya lebih besar di sisi Allah dan jauh lebih dibencidaripada memberi selamat kepada mereka karena meminum alkohol danmembunuh seseorang, berzina dan perkara-perkara yang sejenisnya. Danbanyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara ini. Dania tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberiselamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid’ah,atau kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaanALLAH.” –Akhir dari perkataan Syaikh (Ibnul Qoyyim rahimahullah)– 

(Syaikh Utsaimin melanjutkan) Haramnya memberi selamat kepada orangkafir pada hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan IbnulQoyyim adalah karena di dalamnya terdapat persetujuan atas kekafiranmereka, dan menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannyaseseorang tidak ridha dengan kekafiran, namun tetap tidak diperbolehkanbagi seorang muslim untuk meridhai syi’ar atau perayaan mereka, ataumengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Karena ALLAHTa’ala tidak meridhai hal tersebut, sebagaimana ALLAH Ta’ala berfirman,
إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ 
Artinya : “Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan(iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jikakamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” [QS AzZumar 39: 7]. 

Dan dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman, 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dantelah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu.” [QS Al Maaidah: 3]

Maka memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama sajaapakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis denganseseorang (muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepadakita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya,karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhaiALLAH, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid’ah)di dalam agama mereka, atau hal itu ada syari’atnya tapi telahdihapuskan oleh agama Islam yang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihiwasallam, telah diutus dengannya untuk semua makhluk. ALLAH berfirmantentang Islam : 
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ 
Artinya : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, makasekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS Aali 'Imran: 85]

Dan bagi seorang Muslim, memenuhi undangan mereka untuk menghadiri harirayanya Hukumnya haram. Karena hal ini lebih buruk daripada hanyasekedar memberi selamat kepada mereka, dimana didalamnya akanmenyebabkan berpartisipasi dengan mereka. Juga diharamkan bagi seorangMuslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam perayaanmereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, ataumembagi-bagikan permen atau makanan, atau libur dari bekerja, atau yangsemisalnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari mereka”. 

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtidha’ Shirathal Mustaqiim, “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya merekamenyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang adapada mereka bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka gunamemanfaatkan kesempatan untuk menghina/merendahkan orang-orang yangberfikiran lemah”. Akhir dari perkataan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah.

Wednesday, December 14, 2011

Inilah Muwashafat (Karakteristik) Seorang Muslim...


Sahabat fillah, sebagai seorang muslim,kita harus mempunya karakteristik (muwashafat) sebagai  standar pribadi muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Bila disederhanakan, sekurang-kurangnya ada sepuluh profil atau ciri khas yang harus lekat pada pribadi muslim.
1. Salimul Aqidah
Aqidah yang bersih (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam (QS 6:162).
Karena memiliki aqidah yang salim merupakan sesuatu yang amat penting, maka dalam da’wahnya kepada para sahabat di Makkah, Rasulullah Saw mengutamakan pembinaan aqidah, iman atau tauhid.
2. Shahihul Ibadah.
Ibadah yang benar (shahihul ibadah) merupakan salah satu perintah Rasul Saw yang penting, dalam satu haditsnya; beliau menyatakan: “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. Dari ungkapan ini maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk kepada sunnah Rasul Saw yang berarti tidak boleh ada unsur penambahan atau pengurangan.
3. Matinul Khuluq.
Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) atau akhlak yang mulia merupakan sikap dan prilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk-makhluk-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat.
Karena begitu penting memiliki akhlak yang mulia bagi umat manusia, maka Rasulullah Saw ditutus untuk memperbaiki akhlak dan beliau sendiri telah mencontohkan kepada kita akhlaknya yang agung sehingga diabadikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS 68:4).
4. Qowiyyul Jismi.

Kekuatan jasmani (qowiyyul jismi) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang harus ada. Kekuatan jasmani berarti seorang muslim memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat atau kuat, apalagi perang di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi, dan jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Karena kekuatan jasmani juga termasuk yang penting, maka Rasulullah Saw bersabda yang artinya:Mu’min yang kuat lebih aku cintai daripada mu’min yang lemah (HR. Muslim). 

5. Mutsaqqoful Fikri
Intelek dalam berpikir (mutsaqqoful fikri) merupakan salah satu sisi pribadi muslim yang penting. Karena itu salah satu sifat Rasul adalah fatonah (cerdas) dan Al-Qur’an banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berpikir, misalnya firman Allah yang artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang, khamar dan judi. Katakanlah: “pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS 2:219).
Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktivitas berpikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Bisa kita bayangkan, betapa bahayanya suatu perbuatan tanpa mendapatkan pertimbangan pemikiran secara matang terlebih dahulu.
Oleh karena itu Allah mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS 39:9).

6. Mujahadatul Linafsihi.
Berjuang melawan hawa nafsu (mujahadatul linafsihi) merupakan salah satu kepribadian yang harus ada pada diri seorang muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan dan kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu.
Oleh karena itu hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam, Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran islam) (HR. Hakim).
7. Harishun Ala Waqtihi.
Pandai menjaga waktu (harishun ala waqtihi) merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu itu sendiri mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah Swt banyak bersumpah di dalam Al-Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan sebagainya.
Allah Swt memberikan waktu kepada manusia dalam jumlah yang sama setiap, yakni 24 jam sehari semalam. Dari waktu yang 24 jam itu, ada manusia yang beruntung dan tak sedikit manusia yang rugi. Karena itu tepat sebuah semboyan yang menyatakan: “Lebih baik kehilangan jam daripada kehilangan waktu”. Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi.
Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk memanaj waktunya dengan baik, sehingga waktu dapat berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi Saw adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
8. Munazhzhamun fi Syuunihi.
Teratur dalam suatu urusan (munzhzhamun fi syuunihi) termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al-Qur’an maupun sunnah. Oleh karena itu dalam hukum Islam, baik yang terkait dengan masalah ubudiyah maupun muamalah harus diselesaikan dan dilaksanakan dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka diharuskan bekerjasama dengan baik sehingga Allah menjadi cinta kepadanya.
Dengan kata lain, suatu urusan dikerjakan secara profesional, sehingga apapun yang dikerjakannya, profesionalisme selalu mendapat perhatian darinya. Bersungguh-sungguh, bersemangat dan berkorban, adanya kontinyuitas dan berbasih ilmu pengetahuan merupakan diantara yang mendapat perhatian secara serius dalam menunaikan tugas-tugasnya.
9. Qodirun Alal Kasbi.
Memiliki kemampuan usaha sendiri atau yang juga disebut dengan mandiri (qodirun alal kasbi) merupakan ciri lain yang harus ada pada seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Kareitu pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya raya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah, dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al-Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik, agar dengan keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah Swt, karena rizki yang telah Allah sediakan harus diambil dan mengambilnya memerlukan skill atau ketrampilan.
10. Nafi’un Lighoirihi.
Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighoirihi) merupakan sebuah tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud tentu saja manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaannya karena bermanfaat besar. Maka jangan sampai seorang muslim adanya tidak menggenapkan dan tidak adanya tidak mengganjilkan. Ini berarti setiap muslim itu harus selalu berpikir, mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dalam hal-hal tertentu sehingga jangan sampai seorang muslim itu tidak bisa mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya.
Dalam kaitan inilah, Rasulullah saw bersabda yang artinya: sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Qudhy dari Jabir).

Demikian secara umum profil seorang muslim yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits, sesuatu yang perlu kita standarisasikan pada diri kita masing-masing.

Hadits Pilihan Tentang Seruan dan Peringatan Allah Ta'ala


Sahabat fillah, sebagai seorang muslim, kita harus mengetahui rambu-rambu dalm Islam, berikut adalah beberapa hadits mengenai seruan dan peringatan Allah kepada kita semua selaku hamba-Nya.. Selamat membaca dan semoga bermanfaat untuk menambah tsaqafah kita.. ;)


1. Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah 'Azza wajalla berfirman, "Anak Adam mendustakan Aku padahal tidak seharusnya dia berbuat demikian. Dia mencaci Aku padahal tidak seharusnya demikian. Adapun mendustakan Aku adalah dengan ucapannya bahwa "Allah tidak akan menghidupkan aku kembali sebagaimana menciptakan aku pada permulaan". Ketahuilah bahwa tiada ciptaan (makhluk) pertama lebih mudah bagiku daripada mengulangi ciptaan. Adapun caci-makinya terhadap Aku ialah dengan berkata, "Allah mempunyai anak". Padahal Aku Maha Esa yang bergantung kepada-Ku segala sesuatu. Aku tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun setara dengan Aku." (HR. Bukhari)


2. Dalam hadits Qudsi dijelaskan bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Hai anak Adam, kamu tidak adil terhadap-Ku. Aku mengasihimu dengan kenikmatan-kenikmatan tetapi kamu membenciKu dengan berbuat maksiat-maksiat. Kebajikan kuturunkan kepadamu dan kejahatan-kejahatanmu naik kepada-Ku. Selamanya malaikat yang mulia datang melapor tentang kamu tiap siang dan malam dengan amal-amalmu yang buruk. Tetapi hai anak Adam, jika kamu mendengar perilakumu dari orang lain dan kamu tidak tahu siapa yang disifatkan pasti kamu akan cepat membencinya." (Ar-Rafii dan Ar-Rabii').


3. Anak Adam mengganggu Aku, mencaci-maki jaman (masa), dan Akulah jaman. Aku yang menggilirkan malam dan siang. (HR. Bukhari dan Muslim)


4. Allah Ta'ala berfirman (dalam hadits Qudsi) : "Kebesaran (kesombongan atau kecongkakan) pakaianKu dan keagungan adalah sarungKu. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Aku lempar dia ke neraka (jahanam)." (HR. Abu Dawud)
5. Berbaik sangka terhadap Allah termasuk ibadah yang baik. (HR. Abu Dawud)


6. Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga. (Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu). ( HR. Bukhari)


7. Allah 'Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi): "Hai anak Adam, Aku menyuruhmu tetapi kamu berpaling, dan Aku melarangmu tetapi kamu tidak mengindahkan, dan Aku menutup-nutupi (kesalahan-kesalahan)mu tetapi kamu tambah berani, dan Aku membiarkanmu dan kamu tidak mempedulikan Aku. Wahai orang yang esok hari bila diseru oleh manusia akan menyambutnya, dan bila diseru oleh Yang Maha Besar (Allah) dia berpaling dan mengesampingkan, ketahuilah, apabila kamu minta Aku memberimu, jika kamu berdoa kepada-Ku Aku kabulkan, dan apabila kamu sakit Aku sembuhkan, dan jika kamu berserah diri Aku memberimu rezeki, dan jika kamu mendatangiKu Aku menerimamu, dan bila kamu bertaubat Aku ampuni (dosa-dosa)mu, dan Aku Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih." (HR. Tirmidzi dan Al Hakim)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

Sunday, December 11, 2011

Amalan-amalan utama sepanjang waktu...

Sabahat fillaah, waktu adalah susuatu yang sangat berharga bagi seorang muslim. sudah seharusnya kita memanfaatkan waktu kita sebaik mungkin untuk berbekal di kehidupan yang abadi.
berikut ada sebuah E-book mini, yang berisikan waktu - waktu yang utama sepanjang masa beserta amalansunnah di dalamnya sesuai Al Qur’an dan Sunnah. Penulis yaitu Arif Budianto, mengusahakan untuk menghadirkan hadits-hadits yang shahih dalam pembahasan di dalamnya serta pendapat dari para ulama yang muktabar, seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar, Syaikh bin Baz, Sayyid Sabiq, dan lain sebagainya.

E-book mini itu dapat sabahat Download disini.
selamat membaca..
Baarakallaahu fiikum..

Saturday, December 10, 2011

Shalat gerhana bulan dan shalat gerhana matahari


Shalat kusuf (gerhana bulan) dan khusuf (gerhana matahari) merupakan sunnat mua’kkad. Disunatkan bagi orang muslim untuk mengerjakannya. Hal itu didasarkan pada dalil berikut ini.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia bercerita bahwa pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi gerhana matahari, lalu beliau mengerjakan shalat bersama orang-orang. Maka beliau berdiri dan memanjangkan waktu berdiri, lalu beliau ruku dan memanjangkannya. Kemudian beliau berdiri dan memanjangkannya –berdiri yang kedua ini tidak selama berdiri pertama-. Setelah itu, beliau ruku dan memanjangkan ruku, ruku-nya ini lebih pendek dari ruku pertama. Selanjutnya, beliau sujud dan memanjangkannya. Kemudian beliau mengerjakan pada rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat pertama. Setelah itu, beliau berbalik sedang matahari telah muncul. Lalu beliau memberikan khutbah kepada orang-orang. Beliau memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah. Dan setelah itu, beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”. Setelah itu, beliau bersabda : “Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang yang lebih cemburu dari Allah jika hambaNya, laki-laki atau perempuan berzina. Wahai umat Muhammad, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [1]
Dapat saya katakan, sisi dalil yang dikandung hadits di atas, bahwa perintah mengerjakan shalat itu berbarengan dengan perintah untuk bertakbir, berdo’a, dan bersedekah. Dan tidak ada seorangpun yang mewajibkan bersedekah, bertakbir dan berdo’a pada saat terjadi gerhana. Dengan demikian, menurut kesepakatan ijma’ bahwa perintah tersebut bersifat sunnat. Demikian juga dengan perintah untuk mengerjakan shalat yang berbarengan dengannya. [2] .Wallaahul Muwaffiq.
SIFAT DAN JUMLAH RAKAA’AT SHALAT KUSUF
Pertama : Tidak Ada Adzan Dan Iqamah Untuk Shalat Kusuf
Para ulama telah sepakat untuk tidak mengumandangkan adzan dan iqomah bagi shalat kusuf [3]. Dan yang disunnahkan [4] menyerukan untuknya “ Ash-Shalaatu Jaami’ah”.
Yang menjadi dalih bagi hal tersebut adalah apa yang ditegaskan dari Abdullah bin Amr Radhiyallahuma, dia bercerita : “Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diserukan : Innash Shalaata Jaami’ah” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani.[5]
Kedua : Jumlah Raka’at Shalat Kusuf
Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat dengan dua ruku’ pada setiap rakaat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah kami sampaikan sebelumnya. Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia bercerita : “Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun berdiri dengan waktu yang panjang sepanjang bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang cukup panjang, lalu beliau bangkit dan berdiri dalam waktu yang lama juga- -tetapi lebih pendek dari berdiri pertama-. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang lama –ruku yang lebih pendek dari ruku pertama-. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang lama –tetapi lebih pendek dari berdiri pertama. Selanjutnya, beliau ruku dengan ruku yang lama- ruku yang lebih pendek dari ruku pertama. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berbalik, sedang matahari telah muncul. Maka beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut, maka berdzikirlah kepada Allah”
Para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, kami melihatmu mengambil sesuatu di tempat berdirimu, kemudian kami melihatmu mundur ke belakang”. Beliau bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya aku melihat Surga, maka aku berusaha mengambil setandan (buah-buahan). Seandainya aku berhasil meraihnya, niscaya kalian akan dapat memakannya selama dunia ini masih ada. Dan aku juga melihat Neraka, aku sama sekali tidak pernah melihat pemandangan yang lebih menyeramkan dari pemandangan hari ini. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita”.
Para sahabat bertanya, “Karena apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Karena kekufuran mereka”. Ada yang bertanya “Apakah mereka kufur kepada Allah?”. Beliau menjawab.
“Artinya : Mereka kufur kepada keluarganya (suaminya), dan kufur terhadap kebaikan (tidak berterima kasih). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka sepanjang waktu, lalu dia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, niscaya dia akan mengatakan : “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu” {Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [6]
Kesimpulan
Di dalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma diatas terdapat dalil yang menunjukkan disunnatkannya khutbah dalam shalat kusuf, yang disampaikan setelah shalat.[7]
Ketiga : Menjaharkan Bacaan Dalam Shalat Kusuf
Bacaan dalam shalat kusuf dibaca dengan jahr (suara keras), sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaharkan bacaannya dalam shalat kusuf. Jika selesai dari bacaannya, beliau pun bertakbir dan ruku. Dan jika dia bangkit ruku, maka beliau berucap : “Sami Allaahu liman Hamidah. Rabbana lakal hamdu”. Kemudian beliau kembali mengulang bacaan dalam shalat kusuf. Empat ruku dalam dua rakaat dan empat sujud.” Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani] [8]
At-Tirmidizi rahimahullah mengatakan : “Para ulama telah berbeda pendapat mengenai bacaan didalam shalat kusuf. Sebagian ulama berpendapat supaya dibaca pelan (sirr, dengan suara tidak terdengar) dalam shalat kusuf pada waktu siang hari. Sebagian lainnya berpendapat supaya menjaharkan bacaan dalam shalat kusuf pada siang hari. Sebagaimana halnya dengan shalat ‘Idul Fithi dan Idul Adha serta shalat Jum’at. Pendapat itulah yang dikemukakan oleh Malik, Ahmad dan Ishaq. Mereka berpendapat menjaharkan bacaan pada shalat tersebut. Asy-Syafi’i mengatakan : Bacaan tidak dibaca Jahr dalam shalat sunnat [9]
Dapat saya katakan bahwa apa yang sesuai dengan hadits, itulah yang dijadikan sandaran [10]. Wabillahi Taufiq
Keempat : Shalat Kusuf Dikerjakan Berjamah Di Masjid.
Yang sunnat dikerjakan pada shalat kusuf adalah mengerjakannya di masjid. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal berikut ini.
[1]. Disyariatkannya seruan di dalam shalat kusuf, yaitu dengan “Ash-Shalaatu Jaami’ah”
[2]. Apa yang disebutkan bahwa sebagian sahabat mengerjakan shalat kusuf ini dengan berjama’ah di masjid.[11]
[3]. Isyarat yang diberikan oleh kedua riwayat di atas dari hadits Aisyah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat gerhana itu secara berjama’ah di masjid. Bahkan dalam sebuah riwayat hadits Aisyah di atas, dia bercerita, “Pada masa hidup Rasulullah pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau. [12]
Kelima : Jika Seseorang Tertinggal Mengerjakan Satu dari Dua Ruku Dalam Satu Raka’at.
Shalat kusuf ini terdiri dari dua rakaat, masing-masing rakaat terdiri dari dua ruku dan dua sujud. Dengan demikian, secara keseluruhan, shalat kusuf ini terdiri dari empat ruku dan empat sujud di dalam dua rakaat.
Barangsiapa mendapatkan ruku kedua dari rakaat pertama, berarti dia telah kehilangan berdiri, bacaan, dan satu ruku. Dan berdasarkan hal tersebut, berarti dia belum mengerjakan satu dari dua rakaat shalat kusuf, sehingga rakaat tersebut tidak dianggap telah dikerjakan.Berdasarkan hal tersebut, setelah imam selesai mengucapkan salam, maka hendaklah dia mengerjakan satu rakaat lagi dengan dua ruku, sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadits-hadits shahih. Wallahu a’lam.
Yang menjadi dalil baginya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka dia akan ditolak” [Muttaffaq ‘alaihi] [13]
Dan bukan dari perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalat satu rakaat saja dari shalat kusuf dengan satu ruku. Wallahu ‘alam
SHALAT GERHANA BULAN SAMA DENGAN SHALAT GERHANA MATAHARI
Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari. Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua (tanda) dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak juga karena kehidupan seseorang. Oleh karena itu, jika kalian melihat hal tersebut maka hendaklah kalian berdo’a kepada Allah, bertakbir, shalat dan bersedekah”.[14]
Dapat saya katakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah pernah mengerjakan shalat gerhana matahari dan beliau menyuruh kita untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gerhana bulan. Dan hal itu sudah sangat jelas lagi gamblang. Wallahu ‘alam
Ibnu Mundzir mengatakan : “Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari” [15]
[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
_________
Footnote
[1]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Ash-Shadaqah fil Kusuuf (hadits no. 1044). Dan redaksi di atas adalah miliknya. Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf (hadits no. 901)
[2]. Lihat sekitar Dalalaatul Itqiraan, kapan waktu muncul, kapan muncul kelemahannya, dan kapan pula keduanya sama . Badaa’iul Fawaa’id (IV/183-184)
[3]. Fathul Baari (II/533) dan Masuu’atul Ijmaa (I/696)
[4]. Syarhul Umdah, karya Ibnu Daqiqil Ied (II/135-136). Dan juga kitab Fathul Baari (II/533).
[5]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab An-Nidaa bish Shalaati Jaami’ah fil Kusuuf (hadits no. 1045). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Dzikrun Nidaa bi Shalaatil Kusuuf : Ash-Shalaatu Jaami’ah, (hadits no. 910). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/178)
[6]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, yang diantaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatil Kusuuf Jama’atan, (hadits no. 1052), dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Maa ‘Aradha Alan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Shalaatil Kusuuf min Amril Jannah wan Naar, (hadits no. 907). Dan lihat kitab. Jaami’ul Ushuul (VI/173).
[7]. Dan termasuk terjemahan Al-Bukhari di dalam (Kitaabul Kusuuf, bab Khuthbatul Imam fil Kusuuf), Aisyah dan Asma Radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah…” Selanjutnya, dia menyitir hadits Aisyah di atas, Fathul Baari (II/533-534)
[8]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di beberapa tempat, di antaranya di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Al-Jahr bil Qiraa’ah fil Kusuuf, (hadits no. 1065) dan lafazh diatas adalah miliknya. Dan juga diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Kusuuf, bab Shalaatul Kusuuf, (hadits no. 901). Lihat Jaami’ul Ushuul (VI/156).
Takhrij hadits ini telah diberikan sebelumnya, tanpa memberi isyarat kepada riwayat ini.
[9]. Sunan At-Tirmidzi (II/448 –tahqiq Ahmad Syakir).
[10]. Lihat ungkapan Asy-Syafi’i dan dalilnya di dalam kitab Al-Umm (I/243). Juga pembahasan dalil-dalilnya serta penolakan terhadapnya di dalam kitab, Fathul Baari (II/550)
[11]. Dari terjemahan Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya, bab Shalaatul Kusuuf Jamaa’atan. Dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu menjadi imam untuk shalat mereka di pelataran zam-zam. Ali bin Abdullah bin Abbas mengumpulkan (orang-orang). Dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pun shalat …”. Kemudian dengan sanadnya dia menyitir hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu.
Pendapat yang mensyariatkan shalat kusuuf dengan berjama’ah adalah pendapat jumhur. Sekalipun imam tetap tidak hadir, maka sebagian mereka boleh menjadi imam atas sebagian lainnya. Lihat kitab Fathul Baari (II/539-540).
[12]. Dari terjemah Al-Bukhari di dalam kitab Shahihnya : Bab : Shalatul Kusuuf fil Masjid. Di dalamnya dsiebutkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha di atas dengan riwayat yang didalamnya terdapat ucapannya : “Kemudian pada suatu pagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan, lalu terjadilah gerhana matahari. Kemudian beliau pulang kembali pada waktu Dhuha, maka beliau pun berjalan di antara rumah-rumah isteri beliau …. (hadits no. 1056).
Di dalam kitab Fathul Baari (II/544), dalam mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan : “Tidak ada pernyataan jelas yang menyebutkan bahwa shalat kusuf ini dikerjakan di masjid, tetapi hal tersebut disimpulkan dari perkataan Aisyah : “Lalu beliau berjalan di dekat rumah-rumah para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memang menempel pada masjid. Dan shalat kusuf di masjid ini telah dinyatakan secara gamblang dalam sebuah riwayat Sulaiman bin Bilal, dari Yahya bin Sa’id, dari Umrah yang ada pada Muslim (saya katakan : “Hadits no. 903) Dan lafazhnya adalah sebagai berikut :” Kemudian aku keluar di antara para wanita di depan rumah isteri-isteri Nabi di masjid. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan turun dari binatang tunggangannya hingga akhirnya sampai ke tempat shalat yang beliau mengerjakan shalat di sana”.
Dapat saya katakan, dan yang lebih jelas dari itu adalah apa yang terdapat dalam hadits Aisyah terdahulu, yang ada pada Muslim, pada no. 901 Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : “Pada masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari, lalu beliau pergi ke masjid, kemudian beliau berdiri dan bertakbir, dan orang-orang pun membuat barisan di belakang beliau..”
[13]. Hadits shahih. Diriwayatlkan oleh Al-Bukhari sebagai kata pembuka dengan lafazh ini di dalam Kitaabul Buyuu’ bab An-Najasy, Fathul Baari (IV/355). Dan diriwayatkan secara bersambungan di dalam Kitabush Shulh, bab Idzaa Ishtalahu ‘alaa Shulhi Juurin fa Shulhu Marduud, dengan lafazh : “Barangsiapa membuat suatu hal yang baru dalam perintah kami ini, yang bukan darinya, maka dia tertolak”. Dan diriwayatkan oleh Muslim di dalam Kitaabul Uqdhiyah, bab Naqdhul Ahkaam Al-Baathilah wa Raddu Muhdatsaatil Umuur, (hadits no. 1718). Dan lihat juga kitab, Jaami’ul Ushuul (I/289)
[14]. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya, dimana ia merupakan bagian dari hadits Aisyah mengenai shalat kusuf yang disebutkan di awal pembahasan
[15]. Al-Iqnaa, kartya Ibnul Mundzir (I/124-125)
Sumber: alhamnhaj site
(Sumber : http://arrahmah.com)